SISTEM
PEMERINTAHAN INDONESIA
Tahun 1945-1949
Secara umum, terjadi penyimpangan dari
ketentuan UUD 1945 antara lain:
Berubah
fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi
badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang
merupakan wewenang MPR.
Terjadinya
perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer
berdasarkan usul BP – KNIP.
Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang
diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk, karena UUD 1945 pada saat ini tidak dapat
dilaksanakan sepenuhnya mengingat kondisi Indonesia yang sedang disibukkan dengan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4
Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. Hal ini
berdasarkan pada Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945,
diputuskanlah bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR
belum terbentuk. Sehingga pada tanggal 14 November 1945 dibentuklah Kabinet
Semi-Presidensiel (“Semi-Parlementer”) yang pertama, sehingga peristiwa ini
merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
Dari segi sejarah sistem pemerintahan yang
berlaku di masa ini adalah sistem pemerintahan presidensil, namun terhitung
sejak tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik
diganti oleh Sutan Sjahrir, dengan kata lain sistem pemerintahannya pun berubah
ke parlementer. Alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari
Presidensiil menjadi Parlementer dipicu karena seminggu sebelum perubahan
pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Soekarno menolak hal
ini sedangkan Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa
pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas
Republik Indonesia.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang
menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari
tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan
gagasan tentang “Dasar Negara” yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPKI
membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan
Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia
Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan
menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat “dengan
kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” maka naskah Piagam
Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945
dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada
tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa
Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan
ini tanpa kata “Indonesia” karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di
Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945.
Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia.
TAHUN 1949-1950
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia
adalah sistem pemerintahan parlementer, yang meganut Sistem multi partai.
Didasarkan pada konstitusi RIS, pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah
sistem parlementer kabinet semu (Quasy Parlementary). Perlu diketahui bahwa
Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukanlah cabinet
parlementer murni karena dalam sistem parlementer murni, parlemen mempunyai
kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.
Diadakannya perubahan bentuk negara kesatuan
RI menjadi negara serikat ini adalah merupakan konsekuensi sebagai diterimanya
hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini karena adanya campur tangan dari PBB
yang memfasilitasinya.
Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya
konfrensi di atas yaitu : – Indonesia merupakan Negara bagian RIS – Indonesia
RIS yang di maksud Sumatera dan Jawa – Wilayah diperkecil dan Indonesia di
dalamnya – RIS mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda – Indonesia adalah
bagian dari RIS yang meliputi Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur.
Dalam RIS ada point-point sebagai berikut :
Pemerintah
berhak atas kekuasaan TJ atau UU Darurat
UU
Darurat mempunyai kekuatan atas UU Federasi
Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut
sistem pemerintahan parlementer ini, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua
kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
TAHUN 1950-1959
Era 1950-1959 ialah era dimana presiden
Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950
sampai 5 Juli 1959. Masa ini merupakan masa berakhirnya Negara Indonesia yang
federalis. Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem
Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal
yang masih bersifat semu. Adapun ciri-ciriny adalah :
presiden
dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
Menteri
bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
Presiden
berhak membubarkan DPR.
Perdana
Menteri diangkat oleh Presiden.
Diawali dari tanggal 15 Agustus 1950,
Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU
No. 7/1850, LN No. 56/1950) disetujui oleh DPR dan Senat RIS. Pada tanggal yang
sama pula, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam
pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
Pembubaran
secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;
Pembentukan
NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku
pada tanggal 17 Agustus 1950.
UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang
mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk
negara dari negara serikat ke negara kesatuan.
Antara 1950 – 1959 Indonesia menggunakan
sistem pemerintahan parlementer yang dalam waktu 4 tahun telah terjadi 33 kali
pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999). Setelah unitary dari Republik
Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini
pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung
bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan
partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi),
PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi),
Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan
kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat
lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu
pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur
kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.
Setelah pembentukan NKRI diadakanlah
berbagai usaha untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru dengan membentuk Lembaga
Konstituante. Lembaga Konstituante adalah lembaga yang diserahi tugas untuk
membentuk UUD baru. Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar
yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga
bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi
tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali
pada UUD 1945.
TAHUN 1959-1966
Sebagaimana dibentuknya sebuah badan
konstituante yang bertugas membuat dan menyusun Undang Undang Dasar baru
seperti yang diamanatkan UUDS 1950 pada tahun 1950, namun sampai akhir tahun
1959, badan ini belum juga berhasil merumuskan Undang Undang Dasar yang baru,
hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959. Bung
Karno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya;
membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966,
Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya
sebagai presiden seumur hidup, serta membentuk MPRS dan DPRS. Sistem yang
diberlakukan pada masa ini adalah sistem pemerintahan presidensil.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit
yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa
sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isinya ialah:
Kembali
berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
Pembubaran
Konstituante
Pembentukan
MPRS dan DPAS
Sejak tahun 1959-1966, Bung Karno menerapkan
demokrasi terpimpin. Semua anggota DPR-GR dan MPRS diangkat untuk mendukung
program pemerintahannya yang lebih fokus pada bidang politik. Bung Karno
berusaha keras menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi
NASAKOM—Nasional, Agama dan Komunis. Tiga pilar utama partai politik yang
mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto
Politik USDEK. Dia menggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM. Era
Demokrasi Terpimpin adalah kolaborasi antara kekuasaan kaum borjuis dengan
komunis itu ternyata gagal dalam memperbaiki sistem perekonomian Indonesia,
malahan yang terjadi adalah penurunan cadangan devisa, inflasi terus menaik
tanpa terkendali, korupsi kaum birokrat dan militer merajalela, sehingga
puncaknya adalah pemberontakan PKI yang dikenal dengan pemberontakan G 30 S/
PKI. Selain itu, Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat
untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib partai
politik ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan
mengeluarkan pendapat. Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah
MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk
kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal
tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS
dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS
yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang
masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui
pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki
anggota-anggota yang duduk di MPR. Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh
Presiden dengan syarat : Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada
perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik. Keanggotaan MPRS
terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang wakil
golongan. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN). TAHUN 1966-1998 UUD yang sama pernah ditafsirkan sebagai
single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal 4 sampai 15 dan Presiden
menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala Pemerintahan. Antara 1966
sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan
konsentrasi kekuasaan amat besar pada Presiden (too stong presidency). Orde
baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin
pada era orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Pada 1968, MPR
secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan
dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada dasarnya sistem yang diberlakukan pada masa
ini adalah sistem pemerintahan presidensil. Dalam masa ini, DPR berada di bawah
kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah
mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif
yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances)
dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan
yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang
oleh Soeharto.
TAHUN 1998-sekarang
Masa ini merupakan masa dimana telah
berakhrirnya rezim orde baru dan dimulainya masa reformasi. Pasca orde baru UUD
1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Sejak 2002, dengan berlakunya UUD
hasil amandemen keempat, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai
pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat
dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan
kekuasaan yang lebih besar (stong legislative). UUD 2002 hasil amandemen bahkan
telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative,
bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar
tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat
dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR. Political gridlocks
semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para
perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih
sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang
baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004). Setelah MPR
mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara
Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan
dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari
rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.
Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan
karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental
norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan
UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak
memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara
kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa. Sistem Pemerintahan setelah amandemen
(1999 – 2002) :
MPR
bukan lembaga tertinggi lagi.
Komposisi
MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh
rakyat.
Presiden
dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Presiden
tidak dapat membubarkan DPR.
Kekuasaan
Legislatif lebih dominan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar